Jakarta, Kemendikbud --- Profesor Universiti Malaysia, Rohaida Mohd Saat menyampaikan bahwa pada saat ini, Malaysia tengah ditantang menerapkan kurikulum nasional. “Does one size fit all? Ini yang kami hadapi. Malaysia sangat beragam, dan karena itu kurikulum harus bisa fleksibel untuk bisa menjawab tantangan keragaman, tuntutan kesetaraan, dan ketidakpastian di masa depan,” jelas Rohaida dalam seminar digital bertaraf internasional bertajuk “International Seminar on Curriculum” secara daring, Selasa (15/12).
Rohaida mengatakan, ia meyakini Malaysia perlu memusatkan perhatian pada pemahaman konseptual mendalam, keterampilan berpikir dan memecahkan masalah, dan keterampilan masa depan lainnya. Juga, kata dia, perlu keseimbangan antara prescriptive versus professional nature dari kurikulum nasional Malaysia, supaya guru-guru dapat melakukan replikasi, adaptasi, integrasi, dan inovasi dengan leluasa.
“Selain itu, jika kurikulum berfokus pada konten saja, maka ini bisa berdampak pada skala lokal, padahal sekarang saja sudah ada perbedaan antara anak di desa dan di kota,” tegas Rohaida.
Rohaida juga mengemukakan, pedagogi adalah faktor yang paling memengaruhi kualitas pembelajaran dan bahwa pedagogi adalah tugas utama guru, Rohaida menyatakan bahwa pengembangan profesional guru sangatlah vital.
“Guru harus diberikan alat dan strategi melaksanakan kurikulum secara kontinu. Seperti kata pepatah: ‘Semakin guru belajar, semakin murid belajar,’” ujar Rohaida.
Senada dengan Rohaida, Akademisi dan Dekan Fakultas Pendidikan University of the Philippines, Jerome T. Buenviaje mengakui bahwa pendidikan inklusif harus dimulai sejak pendidikan keguruan, agar ketika mengajar nanti, guru-guru sudah membawa perspektif inklusivitas dalam kesehariannya. Jerome menekankan, Filipina menerapkan pendidikan inklusif yang dimulai sejak pendidikan keguruan, yaitu sebelum guru terjun mengajar.
“Filipina percaya guru harus mengajar dengan inklusif. Tujuan kami adalah agar pendidikan inklusif konkret dan terjadi dalam ruang kelas, bagaimana guru dapat menjalankan strategi pembelajaran yang inklusif setiap hari,” kata Jerome.
Ia mengakui, kurikulum pendidikan keguruan di Filipina dirancang menjawab tantangan-tantangan inklusivitas dan keragaman. “Kami hanya bisa mengklaim kurikulum kami inklusif dan menciptakan persatuan, jika kami bisa menerjemahkannya dalam ruang kelas kami, di mana guru dan siswa merasakan betul-betul, apa itu pendidikan inklusif,” jelas Jerome.
Pada acara ini juga dilaksanakan empat ruang diskusi yang dibuka secara paralel bagi para peserta yang berasal dari seluruh Indonesia, yang merupakan guru-guru sekolah, pemerhati pendidikan, dan tenaga pendidik seperti kepala sekolah.
Diskusi antara lain berkisar mengenai kesiapan satuan pendidikan mengelola kurikulum terkait proses Belajar dari Rumah yang masih berjalan hingga kini, evaluasi implementasi kurikulum dalam rangka penyederhanaan Kurikulum 2013, kajian implementasi struktur kurikulum, dan kajian pelaksanaan diversifikasi kurikulum dalam upaya inovasi kurikulum. ***(Lydia.A/Denty.A/Aline.R)