Jakarta, Kemendikbud --- Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak), Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Balitbang dan Perbukuan), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyelenggarakan seminar hasil penelitian tahap II. Acara tersebut diselenggarakan mengangkat tema “Kebijakan Berbasis Bukti untuk Memperkuat Kemerdekaan Belajar dan Ketahanan Budaya di Masa Pandemi”.
“Kami menyampaikan apresiasi terhadap apa yang teman-teman lakukan dan terbukti hasil penelitian yang teman-teman lakukan sangat dibutuhkan untuk perbaikan kualitas pendidikan kita,” kata Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Balitbang dan Perbukuan, Totok Suprayitno saat membuka acara Seminar Hasil Penelitian Tahap II, Senin (7/12).
Penyaji pertama yaitu Yufridawati yang menyajikan hasil penelitiannya dengan judul “Evaluasi Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun 2020”. Yufridawati menjelaskan terdapat variasi jalur kuota dalam pelaksanaan PPDB daerah. Selain itu, terdapat beberapa daerah yang membuka jalur prestasi lebih dahulu daripada jalur zonasi, afirmasi, dan cenderung memaksimalkan daya tampung jalur prestasi dengan kuota maksimal 30 persen.
“Dari hasil temuan penelitian ini, kebanyakan daerah belum menetapkan zonasi bagi sekolah-sekolah di daerah perbatasan berdasarkan kesepakatan tertulis antardaerah, belum semua daerah memperhitungkan daya tampung sekolah swasta dalam penetapan zonasi, sehingga mempengaruhi penyelenggaraan sekolah swasta yang kurang bermutu,” ungkap Yufridawati.
Peneliti selanjutnya, Lucia Hermien Winingsih mengatakan daerah tertinggal mengalami kondisi ketertinggalan dari banyak aspek, seperti angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang relatif masih rendah, jumlah penduduk miskin yang masih cukup tinggi di beberapa daerah, dan masih cukup tingginya angka melek huruf di beberapa daerah.
Lucia juga menambahkan bahwa tingkat partisipasi pendidikan masih rendah, di mana dilihat dari Angka Partisipasi Kasar (APK) maupun Angka Partisipasi Murni (APM). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah anak yang belum sekolah di tingkat menengah masih cukup besar. “Belum semua kabupaten/kota di daerah tertinggal memiliki SMK seperti Kabupaten Raya, Mamberamo Tengah, dan Intan Jaya,” ujarnya saat memaparkan hasil penelitiannya yang berjudul Afirmasi Akses Pendidikan Dalam Rangka Percepatan Wajib Belajar 12 Tahun.
Penyaji terakhir, Nadia Febrina memaparkan penelitiannya yang berjudul Analaisis Standar Biaya Operasional Nonpersonalia Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Sebagai Usulan Revisi Permendiknas Nomor 69 Tahun 2009.
Nadia menyampaikan hasil temuannya bahwa pengeluaran sekolah negeri dan swasta dilakukan berdasarkan delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan 12 komponen pembiayaan. Pengeluaran sekolah pada semua jenjang baik negeri maupun swasta menurut SNP yang terbesar yaitu pada standar pembiayaan, standar sarpras, dan standar proses.
“Jika kita melihat berdasarkan komponen, empat komponen terbesar untuk setiap satuan pendidikan adalah pengeluaran untuk honor, pemeliharaan sarpras, administrasi sekolah, dan pembelajaran dan ekstrakurikuler,” ungkap Nadia.
Peneliti Puslitjak, Simon Sili Sabon pada paparannya mengenai “Evaluasi Sistem Pendidikan Keguruan” menyampaikan bahwa berbagai riset menunjukkan prestasi siswa Indonesia rendah dan cenderung turun dalam tiga tahun terakhir. Memang banyak faktor yang menentukan tinggi rendahnya prestasi, namun penelitian Chairunisa (2019) menemukan bahwa faktor paling menentukan adalah guru.
“Tetapi yang menentukan kualitas guru adalah kualitas dosennya ketika guru itu kuliah. Makanya yang perlu dikaji adalah mutu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK),” jelas Simon.
Ia menyarankan agar Kemendikbud bersama LPTK menerapkan Permendikbud No. 87 Tahun 2014 agar menghasilkan guru profesional saja dan melalui Pendidikan Profesi Guru. “Selain itu, perlu kerja sama dengan pemerintah daerah (pemda) agar pemda merekrut guru lulusan PPG saja secara ketat, bukan sarjana pendidikan,” kata Simon.
Ia juga meyakini perlunya Kemendikbud menyelenggarakan PPG berasrama untuk menciptakan guru profesional. “Supaya kompetensi kepribadian dan perilaku sosial guru dapat dididik dan dievaluasi juga,” tambah Simon.
Peneliti Simon juga berharap, Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN-PT) juga diharapkan mengakreditasi lembaga yang belum terakreditasi. “Jika ada yang tidak memenuhi syarat, sebaiknya diusulkan untuk diberhentikan izin operasionalnya, karena kemungkinan besar hanya akan menciptakan pengangguran,” kata Simon.
Pada kesempatan yang sama, Peneliti Puslitjak, Iskandar Agung menyampaikan presentasi mengenai “Strategi Guru Penggerak dalam Pengimbasan Pembelajaran STEM”. Science, Technology, Engineering, and Mathematics atau lazim disingkat STEM, diyakini Iskandar mampu mendorong kreativitas guru-guru dalam menciptakan inovasi pembelajaran.
“Penelitian ini mengaitkan pendekatan STEM sebagai kerangka berpikir yang dapat digunakan dalam komunitas Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). MGMP bisa menjadi wadah diskusi dan kolaborasi guru,” tutur Iskandar.
Ia melanjutkan, bahwa STEM perlu dipandang sebagai pendekatan berbasis siswa aktif, kreatif, berpikir kritis, kolaboratif, dan mampu menyelesaikan masalah secara faktual. “Jadi, sainsnya kita pakai sebagai kerangka teori.
Oleh karena itu, kebijakan guru penggerak, lanjut Iskandar, pada dasarnya bisa dilakukan lewat pengimbasan lewat MGMP. “Namun Kemendikbud perlu memberi pelatihan sebanyak-banyaknya agar guru paham memakai STEM sebagai paradigma, sehingga mereka mampu jadi Guru Penggerak,” tukas Iskandar. ***(Denty. A/Aline. R)