Jakarta - Sebagai upaya peningkatan literasi media bagi dosen dan mahasiswa, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menjalin kerja sama dengan Maarif Institute pada Oktober 2020 lalu. Kerja sama tersebut kemudian diwujudkan dalam program "Tular Nalar" dengan memberikan pelatihan terkait pemikiran kritis dan literasi media di perguruan tinggi. Adapun pelatihan di perguruan tinggi negeri pertama diselenggarakan untuk civitas academica Universitas Gadjah Mada (UGM).
Program Tular Nalar di UGM ini digelar secara daring, pada Senin (4/1/2021) dengan tajuk "Program Literasi Media untuk Dosen untuk Penyemaian Perdamaian dan Pemikiran Kritis". Program ini bertujuan mendukung dan memfasilitasi pengajar di perguruan tinggi untuk mengajarkan keahlian literasi media, termasuk dalam menangkal hoaks, disinformasi dan misinformasi dalam konteks Covid-19 sekarang ini.
Mengawali sambutannya, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Nizam menyampaikan bahwa kita telah melewati tahun 2020 yang penuh dengan cobaan, penuh dengan dinamika dan mencerminkan post-truth.
“Batas antara dunia maya dan nyata menjadi semakin tidak nyata. Oleh karena itu menjadi tantangan bagi kita semua terutama di dunia pendidikan untuk menyiapkan generasi unggul yang kita gadang-gadang sebagai penerus generasi, sebagai pembawa estafet perjalanan bangsa ke depan, kita bawa para mahasiswa menjadi para sarjana unggul, para sarjana yang penuh semangat membangun negeri, sekaligus penuh dengan kreativitas dan inovasi tapi juga santun dengan budaya ketimurannya," pungkas Nizam.
Nizam beranggapan dalam dunia yang semakin menyatu antara dunia maya dan dunia nyata, menjadi sangat penting bagi kita untuk mempunyai daya kritis yang tinggi. Pasalnya, saat ini terjadi banjir informasi yang ada di media sosial atau media informasi yang sumbernya tidak jelas tetapi sangat mendistorsi realita kita.
"Acara ini sangat baik untuk membawa kita semua pada pendidikan yang betul-betul mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Dengan Tular Nalar seperti menularkan akal sehat yang menjadi komandan di dalam mengambil keputusan, mempersepsi informasi dalam media yang membanjiri kita dan dibutuhkan penalaran yang kuat dalam hal ini,” ucap Nizam.
Pada kesempatan yang sama Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abdul Rohim Ghazali mengatakan bahwa pelatihan daring Tular Nalar ini memasuki tahapan kedua, yang mana tahapan pertama sudah dijalankan untuk perguruan tinggi swasta dan pada tahap kedua ini memasuki tahapan kerja sama dengan perguruan tinggi negeri di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Apa yang kami lakukan ini sebagai upaya untuk menghadapi sebagian persoalan besar yang meliputi bangsa ini. Dan program ini sangat penting yang bagi kami dalam melawan hoaks," jelasnya.
Abdul Rohim menambahkan program ini dicanangkan dimulai dari diri kita sendiri untuk menggunakan nalar kritis dalam setiap membaca fenomena terutama yang simpang siur di dunia daring seperti media sosial. Ia berharap program ini yang ditujukan untuk para dosen ini nantinya akan menularkan kepada para mahasiswa. Selanjutnya mahasiswa nantinya akan menularkan pada lingkungannya dan program ini bisa di akses oleh semakin banyak kalangan di Indonesia.
"Dengan penggunaan nalar kritis dalam memanfaatkan dunia daring diharapkan dapat menjadi tradisi yang tidak hanya berada di lingkungan akademisi, dosen dan mahasiswa, tetapi bisa menjadi tradisi di kalangan masyarakat pada umumnya," tutupnya.
Sementara itu, Pakar Komunikasi Ni Made Ras Amanda selaku pembicara pada pelatihan Tular Nalar ini menyampaikan berdasarkan data riset data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Hotsuite pertumbuhan pengguna internet di Indonesia terus bertambah. Namun, selama pandemi Covid-19 ini ditemukan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-5 dunia berkaitan dengan rumor, stigma, serta teori konspirasi Covid-19.
Merespon temuan tersebut, Amanda berharap agar pendidikan tidak kenal lelah dalam meningkatkan kemampuan mahasiswa menangkal berbagai dampak yang ditimbulkan dari penggunaan internet.
“Mari kita mendidik anak-anak kita mahasiswa untuk dapat berpikir kritis. Kehidupan mereka kedepannya lebih banyak berhadapan dengan isu-isu sehingga soft skill harus kita tingkatkan agar mereka dapat bertahan terhadap dampak negatif internet,” pungkasnya.